Mari Berkumpul di Pantai Gumumai
SENANDUNG lagu dangdut terdengar dari balik deretan pohon cemara yang berdiri tegak menghadap Teluk Sesar di sebelah barat Bula, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Deringan gitar berpadu suara serak, mengantar beberapa bocah bergoyang. Tontonan itu ada di Pantai Gumumai suatu siang akhir Maret lalu. Syahbudin Suakur, pria yang kini berusia 72 tahun itu memainkan gitar tuanya untuk menghibur cucu-cucunya.
Mereka menikmati liburan akhir pekan di pantai yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari Bula itu. Suasana pantai terasa asri, diterpa embusan angin sepoi-sepoi yang mengundang rasa kantuk. Seusai melantunkan lagu berirama dangdut, Syahbudin kembali memetik dawai gitarnya. Kali ini, iramanya lebih pelan. Ia menyanyikan lagu berjudul ”Bula”. Syair lagu itu mengisahkan kekejaman tentara Jepang terhadap warga pribumi, kala Jepang menduduki Bula ketika Perang Dunia Kedua. Tahun itu Syahbudin lahir, 1943. Gumumai adalah bahasa setempat, yang dalam bahasa Indonesia berarti ”Mari Berkumpul”, merupakan tempat istirahat bagi para pekerja romusa di antaranya ayah Syahbudin yang bernama Suakur.
Di Pantai Gumumai mereka bersembunyi melepas kepenatan, setelah dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan logistik perang tentara Jepang, terutama penyediaan pasokan bahan bakar. Di Bula terdapat puluhan tempat pengeboran minyak bumi. Ada ladang minyak tua yang sudah dieksploitasi sejak awal abad ke-20 oleh Belanda. Hingga kini, ladang itu masih berproduksi. ”Pantai Gumumai merupakan tempat peneduh sejak zaman penjajah,” ujar Syahbudin. Pantai Gumumai pada sore hari menjelang malam terasa lain. Deburan ombak Laut Seram mengejar puluhan ekor bangau yang mencari kepiting kecil di pasir. Saat air laut hendak menyentuh kaki-kaki panjang itu, burung-burung bangau serentak terbang. Ketika air laut bergerak surut, bangau-bangau kembali mendarat. Pelepas dahaga Selain menjadi oase bagi warga setempat, Pantai Gumumai juga seolah menjadi pelepas dahaga bagi tamu yang baru tiba di Bula, terutama yang menggunakan moda transportasi darat. Perjalanan darat memang cukup melelahkan bahkan menegangkan.
Untuk mencapai Bula, tamu yang melewati Ambon menyeberang dengan Feri ke Waipirit, Kabupaten Seram Bagian Barat. Perjalanan kemudian dilanjutkan dari Waipirit menuju Bula, dengan melintasi Gunung Sawai Saleman yang oleh warga setempat dinamakan Gunung SS. Kelokan jalan yang berjumlah lebih dari 350, ditambah beberapa ruas yang rusak, mengocok perut sehingga mendorong rasa mual yang berujung muntah. Ketika melintasi ruas sempit bertepi jurang, penumpang memang harus tahan napas. Kondisi jalan seakan menegaskan keseraman Pulau Seram. Namun, derita perjalanan lintas pulau dengan luas 18.625 kilometer persegi itu, seakan terbayarkan saat mendatangi Pantai Gumumai. Gemulai daun-daun cemara seakan mengucap selamat datang kepada pengunjung ketika memasuki tempat itu. Kendati masih sepi dari wisatawan luar daerah, Pantai Gumumai tidak sepi menyajikan tontonan menawan.
Pantai yang memiliki luas sekitar 30 hektar dan ditumbuhi lebih dari 2.000 pohon cemara itu kini menjadi wisata pantai favorit masyarakat setempat. Rindangnya pohon cemara menjadi peneduh di kala terik, dihiasi hamparan pasir hitam yang membentang sepanjang hampir 2 kilometer di kala surut, serta menyuguhkan kejar-kejaran antara ombak dan bangau di saat petang menjemput malam. Mengunjungi tempat itu tidak butuh biaya besar. Wisatawan yang menggunakan sepada motor cukup membayar Rp 3.000, sedangkan yang membawa masuk kendaraan roda empat dikenakan tarif Rp 7.000. Di sana tersedia 13 gazebo yang bisa dipakai berkumpul bagi pengunjung rombongan.
Minimnya akses transportasi menuju Bula menyebabkan tempat itu belum diketahui banyak wisatawan terutama yang berasal dari luar Maluku. Hingga saat ini, belum ada pesawat komersil yang melayani penerbangan Ambon-Bula. Satu-satunya akses adalah jalur darat. Akibatnya, pengenalan wisatawan luar tentang lokasi wisata itu juga masih sangat kurang. Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Seram Bagian Timur, gencar melakukan promosi. Setiap tamu daerah yang datang selalu di ajak ke pantai itu. Sementara untuk fasilitas penunjang terus disediakan pihak swasta.
Di Bula terdapat satu hotel kelas melati dan lima penginapan. Menurut rencana, pemerintah akan bekerja sama dengan investor untuk mengembangkan Pantai Gumumai, agar lebih menarik. Setiap tahun diselenggarakan lomba dayung, yang oleh masyarakat setempat disebut arumbai manggurebe. Pertengahan tahun ini, pemerintah berencana akan mendatangkan banana boat untuk meramaikan wisata di Gumumai. Mari berkumpul di Pantai Gumumai. (Fransiskus Pati Herin)
sumber : https://travel.kompas.com/read/2015/07/03/145400527/Mari.Berkumpul.di.Pantai.Gumumai.
Mereka menikmati liburan akhir pekan di pantai yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari Bula itu. Suasana pantai terasa asri, diterpa embusan angin sepoi-sepoi yang mengundang rasa kantuk. Seusai melantunkan lagu berirama dangdut, Syahbudin kembali memetik dawai gitarnya. Kali ini, iramanya lebih pelan. Ia menyanyikan lagu berjudul ”Bula”. Syair lagu itu mengisahkan kekejaman tentara Jepang terhadap warga pribumi, kala Jepang menduduki Bula ketika Perang Dunia Kedua. Tahun itu Syahbudin lahir, 1943. Gumumai adalah bahasa setempat, yang dalam bahasa Indonesia berarti ”Mari Berkumpul”, merupakan tempat istirahat bagi para pekerja romusa di antaranya ayah Syahbudin yang bernama Suakur.
Di Pantai Gumumai mereka bersembunyi melepas kepenatan, setelah dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan logistik perang tentara Jepang, terutama penyediaan pasokan bahan bakar. Di Bula terdapat puluhan tempat pengeboran minyak bumi. Ada ladang minyak tua yang sudah dieksploitasi sejak awal abad ke-20 oleh Belanda. Hingga kini, ladang itu masih berproduksi. ”Pantai Gumumai merupakan tempat peneduh sejak zaman penjajah,” ujar Syahbudin. Pantai Gumumai pada sore hari menjelang malam terasa lain. Deburan ombak Laut Seram mengejar puluhan ekor bangau yang mencari kepiting kecil di pasir. Saat air laut hendak menyentuh kaki-kaki panjang itu, burung-burung bangau serentak terbang. Ketika air laut bergerak surut, bangau-bangau kembali mendarat. Pelepas dahaga Selain menjadi oase bagi warga setempat, Pantai Gumumai juga seolah menjadi pelepas dahaga bagi tamu yang baru tiba di Bula, terutama yang menggunakan moda transportasi darat. Perjalanan darat memang cukup melelahkan bahkan menegangkan.
Untuk mencapai Bula, tamu yang melewati Ambon menyeberang dengan Feri ke Waipirit, Kabupaten Seram Bagian Barat. Perjalanan kemudian dilanjutkan dari Waipirit menuju Bula, dengan melintasi Gunung Sawai Saleman yang oleh warga setempat dinamakan Gunung SS. Kelokan jalan yang berjumlah lebih dari 350, ditambah beberapa ruas yang rusak, mengocok perut sehingga mendorong rasa mual yang berujung muntah. Ketika melintasi ruas sempit bertepi jurang, penumpang memang harus tahan napas. Kondisi jalan seakan menegaskan keseraman Pulau Seram. Namun, derita perjalanan lintas pulau dengan luas 18.625 kilometer persegi itu, seakan terbayarkan saat mendatangi Pantai Gumumai. Gemulai daun-daun cemara seakan mengucap selamat datang kepada pengunjung ketika memasuki tempat itu. Kendati masih sepi dari wisatawan luar daerah, Pantai Gumumai tidak sepi menyajikan tontonan menawan.
Pantai yang memiliki luas sekitar 30 hektar dan ditumbuhi lebih dari 2.000 pohon cemara itu kini menjadi wisata pantai favorit masyarakat setempat. Rindangnya pohon cemara menjadi peneduh di kala terik, dihiasi hamparan pasir hitam yang membentang sepanjang hampir 2 kilometer di kala surut, serta menyuguhkan kejar-kejaran antara ombak dan bangau di saat petang menjemput malam. Mengunjungi tempat itu tidak butuh biaya besar. Wisatawan yang menggunakan sepada motor cukup membayar Rp 3.000, sedangkan yang membawa masuk kendaraan roda empat dikenakan tarif Rp 7.000. Di sana tersedia 13 gazebo yang bisa dipakai berkumpul bagi pengunjung rombongan.
Minimnya akses transportasi menuju Bula menyebabkan tempat itu belum diketahui banyak wisatawan terutama yang berasal dari luar Maluku. Hingga saat ini, belum ada pesawat komersil yang melayani penerbangan Ambon-Bula. Satu-satunya akses adalah jalur darat. Akibatnya, pengenalan wisatawan luar tentang lokasi wisata itu juga masih sangat kurang. Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Seram Bagian Timur, gencar melakukan promosi. Setiap tamu daerah yang datang selalu di ajak ke pantai itu. Sementara untuk fasilitas penunjang terus disediakan pihak swasta.
Di Bula terdapat satu hotel kelas melati dan lima penginapan. Menurut rencana, pemerintah akan bekerja sama dengan investor untuk mengembangkan Pantai Gumumai, agar lebih menarik. Setiap tahun diselenggarakan lomba dayung, yang oleh masyarakat setempat disebut arumbai manggurebe. Pertengahan tahun ini, pemerintah berencana akan mendatangkan banana boat untuk meramaikan wisata di Gumumai. Mari berkumpul di Pantai Gumumai. (Fransiskus Pati Herin)
sumber : https://travel.kompas.com/read/2015/07/03/145400527/Mari.Berkumpul.di.Pantai.Gumumai.